Senin, 30 November 2015

11. Dosa (tunggal)—hidup terpisah dari Allah, menghasilkan dosa-dosa (jamak)—melakukan hal-hal yang salah.


11. Dosa (tunggal)—hidup terpisah dari Allah, menghasilkan dosa-dosa (jamak)—melakukan hal-hal yang salah.

Ada perbedaan antara dosa tunggal, menghidupkan hidup yang terpisah dari Allah, dan dosa jamak, melakukan hal-hal yang salah. Hidup yang terpisah dari Allah adalah dasar dari dosa; perbuatan-perbuatan jahat yang sering kita sebut dosa hanyalah hasil dari kondisi kita yang penuh dosa.

Kadang kala kita memikirkannya secara terbalik. Kita berpikir bahwa perbuatan jahat kitalah yang memisahkan kita dari Allah. Tetapi yang benar adalah keterpisahan dari Allah-lah yang menuntun kita kepada perbuatan-perbuatan jahat. Dosa tunggal menuntun kepada dosa jamak.

Mari kita lihat Salomo. Dia memulai pemerintahannya dengan hati yang sepenuhnya menghadap kepada TUHAN. Tetapi sebagaimana tahun-tahun berlalu, sebuah perubahan terjadi. “Sebab pada waktu Salomo sudah tua, isteri-isterinya itu mencondongkan hatinya kepada allah-allah lain, sehingga ia tidak dengan sepenuh hati berpaut kepada TUHAN, Allahnya, seperti Daud, ayahnya.” I Raja-raja 11:4.

Apa yang terjadi dengan Salomo? Apakah dia mulai melakukan perbuatan-perbuatan jahat, dan tetap melakukan perbuatan-perbuatan jahat, hingga hatinya tidak lagi sempurna terhadap TUHAN? Tidak, yang terjadi justru urutan sebaliknya. Engkau akan menemukan gambaran kejatuhannya dalam Ellen G. White Comments, S.D.A. Bible Commentary, vol. 2, hlm. 1031:

“Semua dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat Salomo dapat dirunut dari kesalahan terbesarnya dengan berhenti bergantung kepada Allah untuk mendapatkan kebijaksanaan, dan berjalan di dalam kerendahan hati di hadapan-Nya.”

Hal yang sama terjadi kepada Hawa. Beberapa orang berpikir bahwa ia jatuh karena dia memakan buah larangan itu—pada hal yang sebenarnya adalah dia memakan buah larangan itu karena dia telah jatuh. Pada beberapa saat sebelum dia meraih dan mengambil buah itu, dia telah berada pada posisi tidak mempercayai Allah dan bergantung kepada dirinya sendiri. Tindakan yang mengikuti hal itu hanyalah hasil dari kondisi itu.

Mungkin butuh waktu bagi seseorang yang hidup terpisah dari Allah melakukan dosa yang terbuka. Butuh waktu bagi Salomo. Membutuhkan waktu juga bagi seseorang yang mencari TUHAN dan sebuah hubungan dengan-Nya untuk mengalami kemenangan yang tidak terkalahkan. Adalah mungkin untuk mencari TUHAN dan masih bertumbuh di dalam hal tingkah laku. Tetapi pada akhirnya, kondisi dari hati yang selalu condong kepada Allah adalah faktor penentu bagi kehidupan luar (yang dapat dilihat mata) sebagaimana dengan kehidupan di dalam (hati/pikiran).

“Jika dosa (hidup terpisah dari Allah) adalah menjadi penyebab dosa-dosa (melakukan perbuatan-perbuatan jahat), maka dari manakah dosa itu datang ketika kita mencari sebuah hubungan dengan TUHAN hari demi hari?”

The Desire of Ages, hlm. 668, menjawab pertanyaan itu dalam satu kalimat: “Ketika kita mengenal TUHAN sebagaimana hal itu merupakan kehormatan bagi kita untuk mengenal-Nya, kehidupan kita akan menjadi sebuah kehidupan penurutan yang terus menerus.”


Walaupun ketika kita berusaha mencari TUHAN hari demi hari, kita mungkin belum mengenal Dia seperti hal itu merupakan kehormatan bagi kita untuk mengenal-Nya. Maka mungkin saja ada saat-saat ketika kita mengalihkan pandangan kita dari pada-Nya sejenak. Ada kalanya ketika kita berhenti bergantung pada-Nya dan kemudian kembali bergantung kepada diri kita sendiri. Dan ketika kita melakukan hal itu, kita akan gagal. Tetapi saat kita terus menerus berusaha mengenal Dia, Dia akan menuntun kita kepada titik mempercayai Dia sepanjang waktu, sehingga tingkah laku kitapun akan menjadi benar juga.



Minggu, 29 November 2015

10. Kita tidak berdosa karena melakukan dosa. Kita melakukan dosa karena kita orang berdosa.



10. Kita tidak berdosa karena melakukan dosa. Kita melakukan dosa karena kita orang berdosa.

Sekelompok mahasiswa kedokteran sedang mempelajari sebuah mayat untuk tugas kuliah mereka. Mereka berkumpul di ruangan di mana mayat itu tergeletak dan mendiskusikan masalah yang ada di hadapan mereka.
“Dia terlihat sangat pucat,” kata mahasiswa pertama.
“Dan dia hanya terbaring di sini, tidak melakukan apa-apa,” tambah mahasiswa kedua.
“Saya cukup yakin bahwa dia tidak pernah cukup gerak badan agar tetap sehat,” kata mahasiswa ketiga.
“Saya pikir tujuan kita yang pertama adalah untuk membangunkan dia dan membuatnya bergerak, untuk menolong agar sirkulasinya dapat berjalan,” mahasiswa keempat membuat kesimpulan. Maka mereka mulai berusaha meyakinkan sang mayat agar mulai bergerak, tetapi mayat tersebut hanya diam di atas meja, dingin dan tanpa suara, tidak peduli apapun yang mereka katakan atau lakukan.

Ya, ini adalah sebuah perumpamaan! Engkau pasti telah menebaknya! Tetapi menggunakan hal ini merupakan persamaan yang mengerikan, marilah kita menggantikan Tesis 10: “Mayat tidak mati karena terbaring di meja. Mayat terbaring di meja karena mati.” Sifat-sifat yang dimiliki mayat muncul sebagai hasil karena menjadi mati—itu bukan penyebab kematian.

Secara rohani, kita dilahirkan dalam keadaan mati. Paulus berbicara dalam Efesus 2:1 tentang “mati karena pelanggaran dan dosa-dosa.” Perbuatan-perbuatan dosa yang dilakukan orang berdosa hanyalah hasil dari kondisi itu, bukan penyebab.

Saya tidak sedang mencoba mengatakan bahwa melakukan dosa tidak berdosa! Tetapi saya berkata bahwa melakukan dosa bukanlah penyebab yang membuat kita berdosa.

Jika engkau menghentikan sebuah perbuatan-perbuatan dosa sekarang, apakah itu akan membuatmu benar? Tidak, itu hanya akan membuatmu berkelakuan baik.

The Desire of Ages, hlm. 21, berkata, “Dosa berawal dari mementingkan diri.” Pikirkanlah hal itu selama beberapa menit. Lucifer adalah yang paling dihormati di antara malaikat-malaikat di surga. Dialah yang tertinggi di antara segala mahluk ciptaan. Namun, dari pada tetap mementingkan TUHAN, dari pada tetap menyembah Dia, dari pada tetap menjadikan kemuliaan dan kehor-matan TUHAN sebagai tujuan tertinggi, Lucifer mulai mencari kemuliaannya sendiri. Dosa tidak mulai dengan Lucifer mencuri buah dari pohon kehidupan. Dosa dimulai dari mementingkan diri dan memuliakan ciptaan dari pada Sang Pencipta.

Adalah hukum alam bahwa tidak mungkin memuliakan TUHAN dan memuliakan diri pada waktu yang bersamaan. Malaikat pertama dari tiga malaikat dalam Wahyu 14 datang dengan pekabaran kepada segala bangsa, kaum, bahasa dan orang-orang, “Takutlah akan Allah dan muliakanlah Dia.”—ayat 7. Pekerjaan injil tidak memiliki ruang untuk kemuliaan manusia.

Pembenaran oleh iman “adalah pekerjaan TUHAN yang meletakkan kemuliaan manusia di dalam debu, dan melakukan untuk manusia apa yang tidak mampu dilakukan manusia untuk dirinya sendiri.”—Testimonies to Ministers, hlm. 456. Penyembahan diri kita dari pada TUHAN adalah penyebab dari semua dosa yang mengikutinya.

Seorang yang berkemauan keras mungkin mampu menguasai tingkah lakunya. Tetapi bahkan orang terkuatpun tidak mampu mengubah kondisinya yang penuh dosa. “Adalah mustahil bagi kita, dengan kekuatan diri sendiri, untuk melepaskan diri dari lubang dosa dimana kita sedang tenggelam. Hati kita adalah jahat, dan kita tidak dapat mengubahnya.”—Steps to Christ, hlm. 18.

Segala perubahan luar yang kita capai, terpisah dari Kristus, hanyalah hasil dari kemuliaan diri kita yang muncul ke atas, dan kemuliaan TUHAN yang turun ke debu. Dan kita berakhir lebih jauh dari sebelumnya dari kehidupan yang Kristus tawarkan melalui hubungan dan persekutuan dengan Dia.

Sebuah mayat dapat dibersihkan dan dirapikan dan didandani dengan pakaian terbaik. Mayat itu mungkin tidak merasa bersalah karena telah melakukan suatu perbuatan salah. Mayat itu bahkan dapat dibawa ke gereja. Tetapi mayat tetaplah mayat! Hanya hidup baru dari dalam, yang diberikan TUHAN, yang dapat mengubahkan kematian menjadi kehidupan. Hidup baru itu diterima melalui hubungan dengan Dia. “Roh, yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut.” Roma 8:2.

Sabtu, 28 November 2015

9. TUHAN tidak menuntut pertanggungjawaban kita karena dilahirkan penuh dosa.


9. TUHAN tidak menuntut pertanggungjawaban kita karena dilahirkan penuh dosa.

Suatu hari di California Selatan, seorang petugas lalu lintas jalan raya memerintahkan saya untuk menepi di sisi jalan. Proyek pelebaran jalan yang sedang dikerjakan, menjadi penyebab kesulitan itu. Saya telah mengemudi di jalur yang salah, namun tidak menyadari bahwa itu adalah jalur yang salah, karena garis marka jalan ditutupi lumpur yang diakibatkan proyek itu. Walaupun saya tahu peraturan tentang mengemudi pada jalurku, saya tidak menyadari bahwa saya telah melanggar peraturan pada saat itu.
Petugas yang menilang saya berpendapat bahwa ketidaktahuan itu tidak dapat dimaafkan. Tetapi menurut saya hal itu merupakan alasan yang sangat baik!
Maka dari pada membayar denda, saya pergi ke pengadilan untuk membela perkara saya. Untungnya, hakim melihat masalahnya sama seperti saya dan membatalkan tuntutan.

Apakah menurutmu hakim itu yang benar, atau petugas lalu lintas itu? Apakah engkau pikir ketidaktahuan dari pelanggaran adalah alasan yang sah, atau tidak? Bagaimana TUHAN melihat ketidaktahuan kita, dalam istilah tetap menuntut pertanggungjawaban kita atas pelanggaran hukum-Nya?

Kita dapat mempelajari beberapa ayat-ayat Alkitab untuk menemukan jawaban dari pertanyaan ini. Yehezkiel 18:20 berkata, “Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya.” Dalam Yohanes 15:22, Yesus berkata, “Sekiranya Aku tidak datang dan tidak berkata-kata kepada mereka, mereka tentu tidak berdosa. Tetapi sekarang mereka tidak mempunyai dalih bagi dosa mereka!” Kembali dalam Yohanes 9:41, Yesus berkata, “Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu.”

Pernahkah engkau bertanya-tanya mengapa perlu begitu lama sebelum Yerusalem dimusnahkan setelah Yesus datang dan berbicara kepada bangsa Yahudi, meninggalkan mereka tanpa dalih? Mengapa api tidak turun dari surga pada pagi setelah kebangkitan dan memusnahkan orang-orang yang telah membunuh Anak Allah?

Buku The Great Controversy memberikan dua alasan: Pertama, tidak semua orang telah mendengar, bahkan orang-orang dewasa sekalipun. Kedua, anak-anak. “Masih banyak di antara bangsa Yahudi yang belum mengetahui tabiat dan pekerjaan Kristus. Dan anak-anak belum menikmati kesempatan atau menerima terang yang ditolak oleh orang tua mereka.

Melalui khotbah para rasul dan teman-teman sejawat mereka, TUHAN akan memancarkan terang itu ke atas mereka; mereka akan diizinkan untuk melihat bagaimana nubuatan telah digenapi, tidak hanya dalam kelahiran dan kehidupan Kristus, tetapi di dalam kematian dan kebangkitan-Nya. Anak-anak tidak memikul dosa orang-tua mereka; tetapi ketika, dengan pengetahuan dari seluruh terang yang telah diberikan kepada orangtua mereka, anak-anak menolak terang tambahan yang telah dikaruniakan kepada diri mereka, mereka menjadi ikut ambil bagian dalam dosa-dosa orangtua mereka, dan memenuhi ukuran kesalahan mereka.”—Hlm. 27, 28.


Bukankah kabar baik bahwa Sang Hakim seluruh alam semesta menerima ketidaktahuan kita akan hukum-Nya sebagai pertimbangan sebelum mengumumkan hukuman ke atas kita? Walaupun kita penuh dosa sejak dilahirkan, Dia tidak menuntut pertanggungjawaban kita karena kondisi kita hingga kita memiliki terang yang cukup dan kesempatan untuk bertobat.

Sedikitnya kita mempunyai tiga masalah dengan dosa dalam dunia ini. Pertama adalah masalah sifat alamiah penuh dosa di dalam mana kita dilahirkan. Kedua adalah masalah catatan sejarah kita yang penuh dosa, dosa-dosa masa lalu yang telah kita lakukan. Ketiga adalah masalah dosa-dosa yang kita lakukan pada masa sekarang. Kadang kala orang-orang berpikir jika kita berhenti berbuat dosa pada masa sekarang, dan tidak pernah berbuat dosa atau jatuh atau gagal lagi, maka kita tidak lagi memerlukan Yesus. Tetapi selama kita hidup di bumi ini, kita masih membutuhkan karunia pembenaran-Nya untuk menutupi dosa-dosa masa lalu kita dan kondisi alamiah kita yang penuh dosa.

Pada pihak lain, beberapa orang percaya bahwa sesuatu perlu dilakukan untuk menebus sifat alamiah kita yang penuh dosa dan percaya bahwa kita berdosa sejak lahir, maka mereka memutuskan perlunya baptisan bayi untuk mengatasi masalah itu. Augustine mengajarkan apa yang kadangkala disebut doktrin asal mula dosa, walaupun hal itu lebih tepat disebut “asal mula kesalahan.” Dia percaya dalam kondisi yang penuh dosa dari kelahiran manusia—dan dia juga percaya bahwa kita harus bertanggungjawab atas kondisi itu.

Tetapi TUHAN tidak pernah menuntut kita bertanggung-jawab atas dosa kita—apakah itu kondisi alamiah yang penuh dosa atau dosa di masa lalu atau masa sekarang—hingga kita mengerti dua hal: Pertama, itu adalah dosa, dan kedua, apa yang harus kita lakukan untuk mengatasinya. Hanya dengan itulah tuntutan pertanggungjawaban dimulai.


Pekerjaan TUHAN bukanlah mencoba untuk mengetahui berapa banyak kira-kira orang yang dapat dihalangi-Nya masuk ke surga. Tetapi, karena kasih-Nya yang besar, Dia melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan Kasih Allah untuk menjangkau setiap orang agar dapat berada di sana. Penyelesaian kondisi alamiah yang penuh dosa, dosa masa lalu, dosa masa sekarang, diberikan melalui kasih karunia-Nya.

8. Setiap orang dilahirkan penuh dosa (atau berpusat pada diri sendiri) karena setiap orang dilahirkan terpisah dari Allah.



D O S A


8. Setiap orang dilahirkan penuh dosa (atau berpusat pada diri sendiri) karena setiap orang dilahirkan terpisah dari Allah.

Sebagai manusia, kita memiliki sedikitnya dua persamaan. Pertama, kita telah dilahirkan. Kedua, kita dilahirkan penuh dosa. Masalah dosa kita berawal dari kelahiran, karena kita dilahirkan terpisah dari Allah.

Kadang kala orang merasa sulit menerima kebenaran ini. Mereka melihat pada seorang bayi yang baru lahir dan berkata, “Bagaimana mahluk yang begini mungil, tidak berdaya, bisa penuh dosa?” Tetapi beberapa orang merasa sulit menerima kenyataan bahwa seorang bayi yang baru lahir sepenuhnya mementingkan diri! Tidak peduli betapa lelahnya sang ibu atau sang ayah yang harus bekerja besok. Jika seorang bayi ingin diberi makan atau dibersihkan atau diajak bermain, dia selalu punya cara untuk agar diperhatikan. Seorang bayi sepenuhnya berpusat pada diri.

Dilahirkan ke dunia ini adalah pengalaman tragis! “Warisan untuk anak-anak adalah dosa. Dosa telah memisahkan mereka dari Allah.”—Child Guidance, hlm. 475. Karena dosa Adam, keturunannya dilahirkan dengan membawa kecenderungan ketidakmenurutan. Baca komentar-komentar Ellen G. White, S.D.A. Bible Commentary, Vol. 5, hlm. 1128.


Pada tujuh tesis pertama, kita telah belajar tentang kebenaran. Karena lawan dari kebenaran adalah dosa, kelihatannya cukup masuk akal bila kita menjadikannya pokok pembahasan berikutnya. Pengertian yang jelas tentang kebenaran dan dosa adalah penting bagi setiap pelajaran keselamatan oleh iman. Bagaimana engkau menangani kedua topik ini dapat menjadi retakan kecil yang akan menganga menjadi jurang nantinya.

Pelajaran kita tentang kebenaran sejauh ini mungkin dapat dirangkumkan dengan mengatakan bahwa kebenaran datang melalui hubungan Yesus, hal itu tidak didasarkan pada tingkah laku. Jika itu benar, maka kita juga harus mendefinisikan dosa sebagai sesuatu yang lebih dari pada sekedar tingkah laku. Kita penuh dosa oleh kelahiran. Kita pada dasarnya penuh dosa. Sifat dasar kita adalah jahat; perbuatan-perbuatan jahat kita hanyalah hasil dari sifat dasar kita.

Paulus berkata dalam Efesus 2:3, “Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai.” Mazmur 58:4, “Sejak lahir orang-orang fasik telah menyimpang, sejak dari kandungan pendusta-pendusta telah tersesat.” Dan bila engkau merasa ragu siapakah yang termasuk di antara “orang fasik”, ingatlah Roma 3:10, “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.”

Alkisah, Seekor kalajengking ingin menyeberangi sebuah sungai. Dia bertemu dengan katak di tepi sungai dan meminta agar diizinkan untuk naik ke punggung katak.
“Oh tidak,” jawab sang katak. “Jika aku mengizinkan engkau merangkak ke punggungku, engkau akan menyengatku dan aku akan mati.”
“Mengapa aku harus melakukan itu?” tanya kalajengking. “Jika aku menyengatmu dan engkau mati, maka kita berdua akan tenggelam, dan aku tidak akan berhasil menyeberangi sungai.”
Pendapat kalajengking masuk akal bagi katak, maka dia mengizinkan kalajengking naik ke punggungnya dan diapun mulai berenang.
Sekitar separuh perjalanan menuju ke seberang, kalajengking menyengat sang katak. Saat katak dalam keadaan sekarat dia berkata, “Mengapa engkau melakukan itu? Sekarang kita berdua akan mati!”
Kalajengking menjawab dengan sedih, “Aku tahu, tapi aku tidak mampu menahannya. Itu adalah sifat alamiahku.”

Ini adalah dilema umat manusia. Sifat dasar kita adalah kemerosotan. Kita tidak bisa menolong diri kita. Bahkan walaupun kita menyadari bahwa kita sedang menghancurkan diri kita, kita menemukan bahwa kita tidak berdaya untuk berhenti berbuat dosa, karena sifat dasar kita adalah kejahatan. “Akibat dari memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat dinyatakan di dalam pengalaman setiap manusia. Dalam sifat dasarnya ada kecenderungan berbuat jahat, sebuah kekuatan, bila tanpa bantuan, tidak dapat dilawannya.”—Education, hlm. 29. Karena dosa Adam, “sifat alamiah kita telah jatuh, dan kita tidak dapat membuat diri kita benar.”—Steps to Christ, hlm. 62.

Karena masalah dosa lebih dalam dari pada sekedar berbuat hal-hal yang salah, karena sifat alamiah kita penuh dosa dari sejak kita dilahirkan ke dunia yang berdosa ini, maka jawaban untuk masalah dosa harus lebih dalam dari pada sekedar tingkah laku. TUHAN menawarkan untuk mulai dari awal lagi. Dia menawarkan kita kelahiran baru, bersama dengan sifat alamiah baru.


Yesus menjelaskan kepada Nikodemus dalam khotbah tengah malam-Nya kepada satu-satunya pendengar bahwa kecuali dilahirkan kembali, kita tidak memiliki pengharapan untuk melihat kerajaan surga. Kelahiran pertama tidak berguna bagi kehidupan kekal—sebuah kelahiran kedua harus mengikutinya. Kabar baik tentang keselamatan adalah bahwa karena Yesus,kita dapat menerima sifat alamiah baru, dan oleh memberikan sifat alamiahnya yang suci, kita dapat melepaskan diri dari kejahatan dunia yang penuh dosa dimana kita dilahirkan ini.

Minggu, 22 November 2015




7. Perbuatan-perbuatan baik kita tidak ada hubungannya dengan alasan agar kita diselamatkan. Perbuatan-perbuatan jahat kita tidak ada hubungan-nya dengan alasan agar kita dibinasakan.

Saudara A. T. Jones adalah salah seorang dari orang-orang yang memperjuangkan kebenaran hanya oleh iman di dalam Kristus saja selama masa tekanan tahun 1888 di dalam gereja kita. Dia secara terang-terangan adalah pembicara yang berapi-api dan seorang yang cukup individualis. Dalam semangatnya dia telah menekankan masalah ini terlalu keras, dan TUHAN mengirimkan sebuah nasehat kepadanya. Nasehat itu ditemukan dalam Selected Messages, jilid 1, di awal halaman 377.

Saudara Jones telah beberapa kali menyatakan bahwa perbuatan baik tidak ada nilainya, tidak seorangpun berada dalam kondisi menuju keselamatan. Ellen White mengatakan kepadanya, “Saya tahu apa yang engkau maksudkan, tetapi engkau meninggalkan kesan yang salah pada pikiran banyak orang. Sementara perbuatan-perbuatan baik tidak akan menyelamatkan satu jiwapun, namun adalah mustahil untuk menyelamatkan bahkan satu jiwapun tanpa perbuatan-perbuatan baik.”—hlm. 337.

Dan hanya pada beberapa halaman berikutnya kemudian pada buku yang sama, halaman 388, dia berkata, “Perbuatan-perbuatan tidak akan membeli izin masuk ke dalam surga.”

Lalu dimana saudara Jones terlalu keras menekankan permasalahannya? Apa perbedaan antara mengatakan bahwa perbuatan baik tidak ada nilainya dan mengatakan bahwa perbuatan baik tidak akan menyelamatkan satu orangpun ke surga, atau membayar izin masuk ke dalam surga?

Beberapa orang lompat kepada kesimpulan bahwa jika perbuatan-perbuatan baik tidak menyelamatkan kita, tentu perbuatan-perbuatan baik bukanlah sesuatu yang penting. Dan jika perbuatan-perbuatan jahat kita tidak menyebabkan kita binasa, maka berbuat jahat sudah pasti tidak apa-apa. Namun satu kata kunci mencegah kesalahmengertian ini. Dalam membicarakan tentang hubungan perbuatan-perbuatan baik kita dan perbuatan-perbuatan jahat kita dalam menyebabkan kita diselamatkan atau dibinasakan, jangan melewatkan kata ‘menyebabkan.’

Kita tidak sedang membicarakan pentingnya perbuatan-perbuatan baik. Kita tidak sedang membicarakan tujuan perbuatan-perbuatan baik. Kita sedang membicarakan tentang metode keselamatan. Dan bila dihubungkan dengan keselamatan, maka perbuatan-perbuatan baik bukanlah penyebab. Perbuatan-perbuatan baik adalah hasil.

Apa yang menyebabkan kita diselamatkan? Kita tahu bukan perbuatan-perbuatan baik kita. Roma 3:20 berkata, “Sebab tidak seorangpun yang bisa dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat.” Yesus adalah Orang yang menyelamatkan kita, dan kita selamat oleh menerima Dia. “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” Kisah 4:12.

Pusat perhatian kita tidak boleh pada perbuatan-perbuatan kita, apakah perbuatan itu baik atau jahat. Dalam mencari keselamatan, kita harus berpusat pada Yesus, dan oleh memandang Dia kita diubahkan ke dalam rupa-Nya. Setiap kali kita melihat kepada diri kita, maka kita pasti akan gagal. Selain kita melihat keberdosaan kita dan menjadi lemah, atau kita akan melihat perbuatan-perbuatan baik kita dan menjadi sombong. Kemanapun kita melangkah dalam cara itu, tetap saja menemukan jalan buntu. Hanya oleh memandang kepada Yesus kita bisa selamat.

Paulus sangat bersemangat pada persoalan keselamatan oleh iman di dalam Kristus saja. Tetapi dia tidak menentang perbuatan-perbuatan baik. Dia telah menjadi orang yang paling baik di daerahnya. Dia membicarakan tentang hal itu dalam Filipi 3:4 dan berkata, “Jika ada orang menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi.” Namun pada akhirnya dia meng-anggap semua itu sebagai kerugian ketika dibandingkan dengan kebenaran Kristus. “Dihakimi oleh hukum Torat yang digunakan manusia untuk menyatakan kehidupan luarnya, dia dinyatakan tidak berdosa; tetapi ketika dia memandang kepada kedalaman ajaran-ajarannya yang suci, dan melihat dirinya sebagaimana Allah melihat dia, dia sujud di dalam kehinaan dan mengakui kesalahan-nya.”—Steps to Christ, hlm. 29,30.

Suatu waktu saya mendiskusikan tesis ini dengan sekelompok pendeta. Ketika kami berbincang tentang separuh bagian pertama, yang menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan baik kita tidak ada hubungannya dengan penyebab kita diselamatkan, semua setuju. Tetapi ketika kami tiba pada separuh bagian kedua, bahwa perbuatan-perbuatan jahat kita tidak ada hubungannya dengan penyebab kita dibinasakan, beberapa dari mereka mulai gelisah.

Tetapi izinkanlah saya bertanya kepadamu, jika bagian pertama benar, bukankah bagian kedua juga benar? Bukankah kedua bagian mengemukakan kebenaran yang sama? Keselamatan kita berdasar kepada penerimaan yang terus-menerus kepada Yesus dan pengorbanan-Nya bagi kita, melalui hubungan setiap hari bersama Dia. Hal itu tidak didasarkan pada tingkah laku. Keselamatan lebih dalam dari pada tingkah laku. Dan begitu juga dengan kehilangan keselamatan! Tingkah laku bukanlah garis pemisah yang menentukan nasib kekal seseorang.

Jika engkau akhirnya diselamatkan, itu karena engkau telah berhubungan dengan Yesus sebagai Juruselamatmu. Perbuatan-perbuatan baik dengan tidak diragukan lagi akan muncul, tetapi hal itu bukanlah penyebab keselamatanmu. Dalam cara yang sama, jika engkau binasa pada akhirnya, itu karena engkau meninggalkan Yesus yang sedang mengetuk dengan sia-sia di luar pintu hatimu. Perbuatan-perbuatan jahat bisa muncul, tetapi itu adalah hasil, bukan penyebab. TUHAN tidak menghakimi melalui tindakan-tindakan luar, tetapi oleh hati. Masalah hati adalah masalah kehidupan. Baca 1 Samuel 16:7; Amsal 4:23:

“Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: "Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." 1 Samuel 16:7.


“Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” Amsal 4:23.


Selasa, 03 November 2015

6. Kebenaran akan membuatmu bermoral, tetapi moralitas tidak akan membuatmu benar.



6. Kebenaran akan membuatmu bermoral, tetapi moralitas tidak akan membuatmu benar.

TUHAN tidak menentang moralitas! Dia tidak marah kepada jemaat Laodikea di dalam Wahyu 3 karena moralitas mereka. Dia marah kepada mereka karena mereka berusaha menggantikan kebenaran dengan moralitas.

Engkau tidak menentang anggur plastik! Engkau mungkin melihat anggur plastik sangat menarik ketika di tata dalam sebuah wadah. Ada sebuah tempat untuk anggur plastik, dan beberapa dari imitasi itu kelihatan cukup meyakinkan. Tetapi ketika seseorang menambahkan anggur plastik ke salad buah, engkau tentu akan mendapati bahwa anggur plastik sangat mengecewakan dan tidak berasa. Anggur plastik tidak dapat menggantikan buah anggur yang asli.

TUHAN tidak menentang moralitas! Jika engkau menghidupkan kehidupan yang bermoral, engkau akan jauh dari penjara. Engkau tidak akan melakukan hal-hal yang tidak senonoh. Engkau akan dapat mempertahankan pekerjaanmu dengan lebih baik. Reputasi dan nama baikmu di masyarakat akan semakin baik. Orang-orang di sekitarmu tidak akan menderita akibat tindakan-tindakanmu yang tidak bermoral. Moralitas memiliki banyak keuntungan, hal itu tidak diragukan lagi. Tetapi TUHAN marah kepada jemaat Laodikea karena pemikiran moralitas tidak dapat menggantikan kebenaran.

“Banyak dari orang-orang yang menyebut diri mereka Kristen adalah orang-orang Moralis belaka.” Christ’s Object Lessons, hlm. 315. Perhatikan bahwa hal ini tidak menggambarkan orang yang menyebut diri mereka manusia yang bermoral. Hal ini menggambarkan orang-orang yang menyebut diri mereka Kristen, tetapi yang sebenarnya tidak.

Dalam perumpamaan tentang seorang laki-laki yang tidak mengenakan pakaian pesta (baca Matius 22), kita melihat prinsip yang sama. Orang itu dapat memilih untuk tetap tinggal di rumah dimana pakaiannya tidak akan pernah ditanggapi. Raja mengundangnya untuk menghadiri pesta pernikahan, tetapi tidak memaksanya untuk hadir. Masalah orang ini adalah dia berusaha menggantikan jubah yang disediakan Raja dengan pakaiannya sendiri dan berhasil masuk ke ruang pesta.

Orang-orang pada zaman Yesus memiliki agama yang hanya berdasar pada moralitas saja. Orang Farisi yang berdoa sambil berdiri di bait suci adalah korban dari menggantikan kebenaran dengan moralitas. Dia menabuh sendiri genderang moralnya. Dia mendeklamasikan kepada TUHAN sebuah daftar yang menurutnya akan merekomendasikannya ke surga. Dia mendasarkan jaminan keselamatannya atas kenyataan bahwa dia tidak melakukan apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Dia adalah seorang yang sopan.

Dan dia membuktikan lagi bahwa bukan hanya moralitas yang akan menggagalkan engkau menjadi benar, hal itu bahkan dapat menghalangi engkau dari kebenaran yang sejati.

Allah tidak menentang moralitas! Bacalah dalam Steps to Christ, hlm. 18. “Pendidikan, kebudayaan, dan latihan kemauan, usaha manusia, semuanya memiliki pengaruh yang baik, namun hal-hal itu tidak berkuasa. Hal-hal itu dapat menghasilkan kebenaran tingkah laku secara luar, namun tidak dapat mengubah hati.”

Kita tidak boleh membuang moralitas, tetapi kita perlu mengerti hal itu secara benar. Moralitas adalah sebuah hasil dari kebenaran. Moralitas bukanlah penyebab kebenaran. Itu tidak pernah menjadi penyebab. Orang Kristen sejati pastilah orang bermoral. Dalam mencari kebenaran sejati, kita tidak perlu takut bahwa moralitas akan tertinggal. Adalah mungkin memiliki kebaikan luar saja, namun tidak pernah mungkin untuk memiliki kebaikan dalam saja. Ketika hati diubahkan, hasil yang tidak dapat dielakkan adalah perubahan tabiat. Kebenaran akan selalu membuatmu bermoral.

“Jika kita tinggal di dalam Kristus, jika kasih TUHAN berdiam di dalam kita, perasaan-perasaan kita, pemikiran-pemikiran kita, niat-niat kita, tindakan-tindakan kita, akan selaras dengan kehendak Allah sebagaimana yang diungkapkan dalam ajaran-ajaran hukum-Nya yang suci.”—Steps to Christ, hlm. 61.


TUHAN tidak menentang moralitas! Tetapi Dia mengamarkan kita untuk menentang moralitas sebagai pengganti kebenaran. Dia mengundang kita untuk menerima kebenaran Kristus yang secara bebas diberi-kan kepada semua orang yang datang kepada TUHAN melalui-Nya.

Senin, 02 November 2015

5. Berbuat benar dengan cara tidak berbuat salah sama dengan tidak berbuat benar.


5. Berbuat benar dengan cara tidak berbuat salah sama dengan tidak berbuat benar.

Menjadi baik dengan cara tidak menjadi jahat sama dengan tidak menjadi baik.

Jika engkau tidak melakukan yang salah, berarti engkau melakukan yang benar, bukan? Salah!

Tentu, ini tidak berarti bahwa jika engkau berbuat salah sama dengan engkau berbuat benar, atau adalah benar berbuat salah. Apa yang dimaksud di sini adalah engkau dapat berbuat baik di luar, tetapi salah di dalam. Dan itu tidak benar! Satu-satunya orang yang benar-benar melakukan apa yang benar adalah orang yang benar di dalam dirinya sama seperti di luar dirinya.

Pernahkah engkau mendengar tentang orang-orang Farisi? Apakah mereka benar atau salah? Yesus mengatakan beberapa perkataan yang pedas kepada orang-orang Farisi di dalam Matius 23:27,28. “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan.”

Mana yang memberi kita pertanyaan penting. Sementara kita dapat setuju bahwa tujuan orang-orang Kristen adalah menjadi baik di dalam dan luar, andaikan engkau belum baik di sebelah dalam. Bukankah lebih baik sedikitnya engkau baik di sebelah luar, dan itulah yang terbaik yang dapat engkau lakukan? Bukankah lebih baik menjadi orang Farisi dari pada seorang biasa? Berhati-hatilah dengan jawabanmu.

Yesus berkata bahwa keagamaan orang Farisi belum tidak cukup untuk kehidupan kekal. “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam kerajaan Surga.” Maka sebaik apapun kebaikan-kebaikan luar, tidak ada manfaatnya bagi keselamatan.

Kita bisa membaca Steps to Christ, hlm. 44. “Ada orang-orang yang mengaku melayani Allah, sementara mereka bergantung pada usaha-usaha mereka untuk menuruti hukum-Nya, untuk membentuk tabiat yang benar, dan memperoleh keselamatan. Hati mereka tidak digerakkan oleh dalamnya kasih Kristus, tetapi mereka berusaha untuk melakukan kewajiban dari kehidupan Kristen sebagaimana yang dituntut Allah dari mereka untuk memperoleh surga. Agama yang seperti itu tidak ada nilainya.” Maka sebaik apapun kebaikan luar, tidak ada manfaatnya bagi keagamaan. Tidak ada nilai yang terdapat di situ.

Dalam Wahyu 3 ada pekabaran khusus kepada gereja pada masa sebelum Yesus datang kembali. “Aku tahu segala pekerjaanmu; engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas! Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku. Ayat 15, 16. Maka sebaik apapun kebaikan luar itu, hal itu lebih buruk pada pemandangan Allah dari pada tidak ada kebaikan sama sekali! Dia bahkan lebih suka dingin dari pada suam-suam kuku!

Kebaikan yang hanya bersifat lahiriah adalah menjijikkan bagi Allah. Dia tahu bahwa orang yang berdosa secara terang-terangan lebih mudah dijangkau dengan kabar baik keselamatan dari pada orang yang merasa tidak membutuhkan. Orang-orang yang sukses menjadi baik di sebelah luar dengan usaha mereka sendiri dijauhkan dari kebutuhan akan seorang Juruselamat. Dan karena mereka tidak merasakan kebutuhan itu, mereka tidak datang kepada Kristus untuk menerima keselamatan yang rindu Dia berikan.

Adalah mungkin untuk mengisi jemaat dengan orang-orang kuat yang mampu menghasilkan kelakuan yang dituntut oleh gereja. Dan kelakuan yang sangat mereka banggakan itu menjadi penghalang yang memutuskan hubungan pribadi dengan Yesus Kristus.

Jika kita benar-benar mempercayai hal ini, jika kita benar-benar menerima thesis yang menyatakan bahwa kebenaran sebelah luar tidak hanya tak bernilai pada pemandangan Allah, tetapi sebenarnya juga memuakkan bagi-Nya, kita akan berhenti berusaha melakukan apa yang benar! Malah, kita akan menggunakan waktu kita dan tenaga dan usaha untuk mencari Dia, sehingga Dia boleh datang dan menghidupkan kehidupan-Nya di dalam diri kita.


Apakah ini menakutkan bagimu? Apakah engkau takut menyerah berusaha untuk melakukan apa yang benar? Apakah engkau mau menggunakan usahamu untuk menerima kebenaran-Nya hari demi hari dalam hubungan yang terus-menerus dengan-Nya? Jika engkau merasa gelisah di sini, bertanya-tanya dari mana datang-nya tingkah laku, segeralah baca thesis berikutnya. Thesis itu mulai dengan, “Kebenaran akan membuatmu bermoral.” Segeralah sekarang, lanjutkan ke halaman berikutnya.