Minggu, 31 Januari 2016

35. Pengampunan itu cuma-cuma


35. Pengampunan itu cuma-cuma, tetapi tidak murah. Pengampunan harus dibayar dengan hidup Anak Allah.

Kami sedang mendiskusikan tentang masalah nilai pada suatu hari di sebuah kelas dimana saya mengajar. Saya bertanya kepada para siswa, “Apakah kalian akan merasa lebih baik bila semua orang di kelas ini mendapat nilai “A” tidak peduli apakah dia berusaha atau tidak? Atau apakah kalian akan merasa lebih baik bila kalian mendapat nilai “A” hanya apa bila kalian telah berusaha keras untuk mendapatkannya?”

Mereka menjawab dengan alimnya, “Oh, kami lebih senang berusaha keras untuk mendapatkan nilai kami.”

Saya tidak mempercayai mereka! Saya telah mendengar sejumlah keluhan setiap kali saya mengumumkan sebuah quiz atau ujian. Saya telah menampung begitu banyak alasan karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR) tepat pada waktunya. Saya telah menghadapi sejumlah siswa yang siap berdebat sepanjang hari demi mendapatkan nilai tambahan. Saya berkata, “Ayolah! Kalian hanya berusaha cari muka di depan guru! Jujur sajalah. Saya tidak akan memberikan nilai untuk jawaban kalian atas pertanyaan ini! Tidakkah kalian menginginkan nilai akhir yang tinggi? Mengapa bagi kalian itu bukan kabar baik jika setiap orang di kelas ini dijamin mendapatkan nilai tertinggi?”

Mereka menjawab, “Kami tidak akan belajar keras lagi. Kami tidak akan berusaha menghafal pelajaran lagi. Kami tidak akan menghargai sebuah nilai kecuali kami berusaha keras mendapatkannya.”

Dan saya tidak dapat berkata apa-apa lagi!

Apakah engkau setuju dengan para siswa itu? Apa yang membuat sesuatu berharga bagimu—menerima sesuatu sebagai pemberian, atau karena harus berusaha mendapatkannya?

Jika tuan tanahmu membayar rekening air, apakah itu berarti engkau memakai air lebih berhati-hati, atau lebih semberono? Apakah engkau lebih cermat memakai amplop dari persediaan di perusahaan daripada yang engkau pakai di rumah? Jika engkau menyewa sebuah mobil tanpa batasan jarak, apakah engkau lebih sering memakai mobil itu atau lebih jarang? Ketika engkau dibiayai melakukan perjalanan, apakah engkau akan menginap di motel yang sama dengan pada saat engkau mengadakan liburan bersama keluargamu?

Jika benar bahwa manusia cenderung lebih menghargai hal-hal yang mereka dapatkan dari hasil usaha mereka, lalu mengapa TUHAN tidak menetapkan suatu sistem keselamatan oleh usaha? Bagaimana kita dapat benar-benar menghargai pengampunan atau pertobatan atau surga pada akhirnya, jika hal itu datang hanya sebagai pemberian (karunia)?

Roma 6:23 berkata, “Karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, TUHAN kita.” Kisah 5:31 berkata, “Dialah yang telah ditinggikan oleh Allah sendiri dengan tangan kanan-Nya menjadi pemimpin dan Juru-selamat, supaya Israel dapat bertobat dan menerima pengampunan.” Maka pengampunan dan keselamatan adalah karunia, bukan sesuatu yang kita dapatkan karena usaha atau jasa kita. Lalu bagaimana kita dapat benar-benar menghargai hal itu dengan sebagaimana mestinya?

Untuk menemukan jawaban atas dilema ini, kita perlu mengerti sifat dasar pengampunan itu. Thoughts From The Mount of Blessings, hlm. 114, menggambarkannya begini: “Pengampunan Allah bukanlah sekedar tindakan hukum yang mana olehnya Dia membebaskan kita dari kutukan. Hal itu bukan hanya pengampunan bagi dosa, tetapi mengangkat dari dosa. Itu adalah aliran kasih penebusan yang mengubahkan hati.”

Maka pengampunan bukan sekedar tindakan hukum. Hal itu lebih dari sekedar membersihkan catatan di buku surga. Itu lebih dari sekedar persetujuan dari surga. Hal itu memulihkan hubungan dengan seseorang. Itu adalah transaksi kasih.

Kasih membuat sebuah perbedaan, bahkan pada tingkatan manusia dalam menerima dan memberi karunia. Seorang anak dapat dilahirkan dalam bentuk yang mengerikan yang diselubungi lendir lengket dan kelihatan seperti es krim bertangkai, dan orang tuanya akan menghargainya karena kasih—daripada menilainya dari penampilannya. Kita akan lebih menghargai sebuah pemberian jika pemberian dan sang pemberi sama pentingnya bagi kita.

Misalkan engkau dirawat di rumah sakit karena gagal ginjal, dan saudaramu datang dan menawarkan salah satu ginjalnya untuk menyelamatkan hidupmu. Apakah yang akan engkau akan berkata kepadanya, “Sekarang aku ingin agar benar-benar dapat menghargai ginjal ini, maka bagaimana kalau aku membayarmu Rp 4.000.000 untuk ginjal itu?” Dia akan merasa terhina! Kenyataan bahwa pemberian yang sangat berharga itu diberikan oleh seseorang yang sangat mengasihi kita menjadikannya tidak ternilai.


Kasih membuat perbedaan. Kebutuhan membuat perbedaan. Jika engkau tenggelam, dan seseorang melemparkan pelampung kepadamu, apakah engkau akan berkata, “Hey, tunggu dulu. Apa yang dapat kulakukan untuk membayarnya? Aku tidak dapat menghargai pelampung ini kecuali aku berusaha untuk itu?” Tidak, perasaan butuhmu akan menghalangimu berpikir demikian.

Apa yang membuat pengampunan itu bukan sesuatu yang murah, walaupun diberi secara cuma-cuma? Hal itu dikarenakan kebutuhan kita yang begitu besar terhadap pengampunan. Kita tahu berapa yang harus dibayar surga agar dapat menawarkan pemberian seperti itu kepada kita. Kita menyadari kasih yang berada dibalik pemberian itu, hati Bapa yang begitu dipenuhi kerinduan untuk berdamai dengan anak-anak-Nya. Dengan kebutuhan yang kita miliki—dan kasih yang dimiliki-Nya—hanya sebuah karunia yang dapat menjawabnya.

Sabtu, 30 Januari 2016

34. Orang yang lebih banyak diampuni akan mengasihi lebih banyak. Orang yang lebih mengasihi akan lebih menurut.




34. Orang yang lebih banyak diampuni akan mengasihi lebih banyak. Orang yang lebih mengasihi akan lebih menurut.

Apakah engkau menyukai Petrus? Sepertinya namanya menjadi lebih populer dibanding murid-murid yang lain. Sering kali orang sulit mengenalinya. Dia merebut kesempatan. Dia berani menanyakan pertanyaan yang salah. Dia berani mengambil resiko memberikan jawaban yang salah.

Petrus adalah orang yang datang kepada Yesus dengan pertanyaan klasik tentang pengampunan, dicatat dalam Matius 18:21. “TUHAN, sampai berapa kalikah aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Dia sering kali menanyakan pertanyaan retorikal; dia merasa sangat yakin dengan kesimpulan-kesimpulan yang dibuatnya. Tujuh kali kelihatan sudah cukup banyak bagi Petrus. Orang-orang Farisi berhenti hanya pada tiga kali. Petrus mau menggandakan batasan mereka dan bahkan melangkah satu langkah lebih jauh, tiba pada “angka sempurna”. Bagus, Petrus!

Tunggu dulu, sebelum engkau menghakimi Petrus. Tentu, engkau telah mengetahui jawaban Yesus. “Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” Ayat 22. Tetapi singkirkan dulu itu sebentar dan ingat kapan terakhir kali tetanggamu, teman atau anggota keluargamu melakukan sesuatu yang membuatmu perlu mengampuni mereka. Dan engkau mengampuni mereka. Tetapi mereka melakukannya lagi. Maka engkau mengampuni mereka lagi. Sampai tujuh kali. Tidakkah engkau hampir kehabisan pengampunan terhadap mereka saat itu? Namun, 490 kali adalah jumlah yang sangat banyak!

Keluarga kami tinggal selama tujuh tahun di sebuah sekolah Pacific Union College di California Utara. Sekolah itu terletak di pegunungan, seperti yang dikatakan penduduk setempat, “delapan mil dari desa yang terdekat.” Tempat itu adalah sebuah perkampungan orang-orang Advent. Dan di lingkungan yang demikian, pendeta sering kali disebut sebagai kepala polisi, hakim, dan sekaligus juri.

Pada suatu hari Minggu telepon berdering. Salah seorang anggota jemaat ingin agar saya menangani masalah dengan tetangganya. Kuda tetangganya telah berlari melalui kebun bunganya. Dan dia merasa bahwa saya adalah orang yang paling tepat menangani masalah ini.

Jawaban yang harus saya berikan kepada pelapor ini terdapat dalam Lukas 17:3,4. “Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau dia menyesal, ampunilah dia. Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia.” (Bahkan Petrus mungkin akan menganggap itu terlalu banyak jika “tujuh kali” itu terjadi hanya dalam satu hari!) Bagaimana jika saya berkata kepada orang yang melapor itu, “Apa yang engkau perlu lakukan adalah mengampuni. Dan jika kuda tetanggamu berlari melalui kebun bungamu enam kali lagi hari ini, ampunilah enam kali lagi. Alkitab berkata, bahwa kuda itu masih dapat datang 489 kali lagi! Itu adalah jumlah waktu yang sangat banyak sehingga mungkin tidak ada lagi bunga yang tersisa di kebun untuk diinjak kuda itu!”

Yesus merekomendasikan pengampunan tanpa batas. Dan Dia tidak meminta kita untuk lebih pengampun dari pada Allah, sehingga kita tahu bahwa pengampunan Allah juga tanpa batas, selama kita mau tetap datang kepada-Nya dan meminta pengampunan dan menerima karunia pengampunan-Nya.

Tetapi kadang kala orang sering kali merasa takut disini. Mereka bertanya, “Bukankah itu akan menjadi semacam memberikan izin?” Jika pemilik kuda itu diampuni 490 kali, atau bahkan 7 kali dalam sehari, tidakkah mereka akan mulai berpikir bahwa kuda mereka berhak berlari melalui kebun bunga itu? Tidakkah ajaran pengampunan tanpa batas akan menuntun kita menganggap remeh kasih karunia Allah?

Yesus menjawab pertanyaan itu dalam perumpamaan-Nya kepada Simon tentang dua orang yang berhutang. Baca Lukas 7. Dia menceritakan kepada Simon, Maria dan murid-murid lainnya, orang yang diampuni lebih banyak, akan mengasihi lebih banyak. Semakin banyak engkau diampuni, maka akan semakin besar kasihmu.

Sekarang kita perlu menambahkan hanya satu ayat lagi, Yohanes 14:15. “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.”

Disinilah kita mengerti. Pengampunan Allah adalah tak terbatas. Tetapi ini tidak menuntun kita kepada izin untuk berdosa, karena orang yang diampuni lebih banyak akan lebih mengasihi. Dan bila engkau lebih mengasihi, maka engkau akan lebih menurut. Sesederhana itu.

“Yesus tahu keadaan setiap jiwa. Engkau mungkin berkata, “Aku orang berdosa, sangat berdosa.” Engkau mungkin memang demikian; tetapi semakin jahat engkau, semakin besar kebutuhanmu akan Yesus. Dia menghapuskan air mata dan menyembuhkan hati yang hancur. Dia tidak mengatakan kepada siapapun semua yang dapat Ia nyatakan, tetapi Dia menawarkan kekuatan kepada setiap jiwa yang terguncang. Dengan cuma-cuma Dia mengampuni semua yang datang kepada-Nya untuk mendapatkan pengampunan dan pemulihan.”—The Desire of Ages, hlm. 568.



Selasa, 12 Januari 2016

33. Pengampunan TUHAN tidak terbatas, tetapi penerimaan kita terhadap pengampunannya dapat terbatas.



33. Pengampunan TUHAN tidak terbatas, tetapi penerimaan kita terhadap pengampunannya dapat terbatas.

Dia pikir dia telah melakukan kejahatan yang sempurna. Selama beberapa tahun ini rencananya sepertinya akan berhasil. Pekerjaannya di pemerintahan telah menjadi batu loncatan menuju kesuksesan finansial. Tagihan bulanannya hampir seperti sebuah lelucon, begitu kecil dibandingkan dengan jumlah yang secara teratur ia gelapkan.

Kadang kala dia sedikit khawatir. Semakin ia berusaha mengatur pendapatannya, semakin banyak sepertinya yang ia habiskan. Tetapi isterinya menyukai barang-barang bagus, anak-anaknya terbiasa hidup mewah, maka dia menyingkirkan ketakutannya dan tetap dengan rencananya.

Kemudian suatu hari seluruh dunia menjadi runtuh di sekelilingnya. Pemeriksa keuangan secara tidak terduga memeriksa pembukuan dan dia tidak mempunyai waktu untuk menutupi jejaknya. Yang paling mengerikan dan mengejutkannya, dia ditangkap untuk ditahan, dituntut dengan hutang terhadap pemerintah sebesar 10 juta dollar. Dia tidak bisa membayangkan kemana uang itu telah pergi. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kepadanya sekarang. Isteri dan anak-anaknya akan dipermalukan. Rumahnya yang indah akan disita, dan dilanjutkan dengan penjualannya untuk mengembalikan hutang-hutangnya. Tetapi walaupun seluruh hartanya dilikuidasi, dia masih berhutang berjuta-juta lagi. Dan bagaimana dia dapat berharap membuat rencana lain untuk mengganti sumber penghasilannya jika dia duduk di dalam penjara?

Hari persidangannya akhirnya tiba. Dia hanya melakukan apa yang dapat dilakukannya. Dia maju menghadap hakim dan mengakui kesalahan sebagai-mana yang dituduhkan. Tetapi dia menyerahkan dirinya kepada belaskasihan pengadilan, meminta waktu untuk membayar ganti rugi. Dia sangat takjub, hakim menangguhkan penghukumannya walau dia telah dinyatakan bersalah.

Dia berjalan keluar dari ruang pengadilan sebagai orang bebas. Tetapi dia belum benar-benar bebas. Karena dia telah memutuskan dalam benaknya sendiri bahwa bagaimanapun dia akan mengembalikan uang yang telah dia gelapkan. Jika tidak, dia merasa bahwa dia akan memiliki kewajiban terhadap pemerintah selamanya.

Di jalan menuju ke rumah, kesempatan pertama muncul dengan sendirinya. Dia bertemu dengan teman sekerjanya yang berhutang kepadanya 30 dollar. Tidak banyak, tetapi itu adalah suatu awal, dan disamping itu, dia harus menghidupi dirinya sendiri sekarang, tanpa bantuan penghasilan tambahan. Maka dia menuntut 30 dollar itu.

Teman sekerjanya menyatakan tidak punya uang. Tetapi hutang itu telah lama jatuh tempo, dan dia merasa telah cukup bermurah hati. Maka dia membuat tuntutan terhadap pria ini di dalam sebuah persidangan kecil.

Beberapa hari kemudian, ketika kasus itu muncul, hakim ketua yang memimpin sidang adalah orang yang sama dengan hakim yang membebaskannya. Ketika hakim melihat bahwa penggugat adalah orang yang baru-baru ini ada di ruang sidangnya, dia sangat marah.

Dia segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjatuhkan kembali hukuman yang telah ditangguhkan itu. Dan orang itu diseret ke penjara, sementara tuntutannya terhadap rekan kerjanya dibatalkan.

Cerita ini dicatat dalam Matius 18, mengajarkan kebenaran penting tentang pengampunan. Pengampunan TUHAN tidak terbatas. Penerimaan kitalah yang kadangkala terbatas terhadap pengampunan-Nya dan menggagalkan rencana-Nya untuk membebaskan kita dari penghukuman atas dosa-dosa kita.

Yesus menceritakan kisah ini untuk menjawab pertanyaan Petrus tentang seberapa sering dia harus mengampuni saudaranya. Yesus memberikan jawaban tujuh puluh kali tujuh kali yang terkenal itu, mengindikasikan belas kasih Allah yang tidak berakhir terhadap kita.

Tujuh puluh kali tujuh kali bukan maksud Allah membuat sebuah catatan, dan ketika kita telah mengampuni 490 kali, itulah batasnya. Pengampunan-Nya tidak mengenal batas. Tetapi kita sering menjadi takut dan malu, dan berhenti meminta. Kita berhenti mencari pengampunan-Nya, karena kita berpikir bahwa kita telah terlalu jauh. Dan kita menaruh batas pada pengampunan-Nya yang tidak pernah ada dalam maksud-Nya.

Atau kita mungkin menemukan diri kita bersimpati kepada orang di cerita itu. Orang ini, yang diampuni hutang 10 juta dollar-nya, tidak pernah sungguh-sungguh menerima pengampunan yang ditawarkan. Adalah benar bahwa dia memohon pengampunan, tetapi “ketika orang yang berhutang kepadanya memohon kemurahan hatinya, dia tidak memiliki kesadaran betapa besar hutangnya. Dia tidak menyadari ketidaksanggupannya. Dia berharap untuk menyelamatkan dirinya.”—Christ’s Object Lessons, hlm. 245.

Perlakuannya terhadap rekan sekerjanya menunjukkan kegagalannya menerima pengampunan yang ditawarkan. Dan ketika hakim menggantikan hukuman dan mengirim orang itu ke penjara, dalam kenyataannya dia hanyalah sekedar melaksanakan pilihan orang itu sendiri. Karena itu TUHAN tidak pernah memaksakan pengampunan-Nya kepada siapapun.


Ketika kita melihat betapa besar dosa kita sebenarnya dan ketidaksanggupan kita sama sekali untuk menyelamatkan diri kita, kita tidak harus putus asa. Semakin besar hutang kita, maka semakin besar kebutuhan kita akan belas kasihan dan pengampunan Allah. Dan karena kasih-Nya yang besar, tidak ada yang paling Allah inginkan selain mengampuni kita dan membebaskan kita.

Senin, 11 Januari 2016

32. Pengampunan tidak bermanfaat bagi orang berdosa kecuali dia menerimanya.


32. Pengampunan tidak bermanfaat bagi orang berdosa kecuali dia menerimanya.

Engkau mungkin pernah mengingat dan mendengar cerita beberapa tahun yang lalu tentang seorang yang dijatuhi hukuman mati, menantikan eksekusinya. Seseorang berusaha menangani kasusnya, membuat permohonan untuk menyelamatkan hidupnya, dan dia diberikan pengampunan. Tetapi dia menolak untuk menerimanya.

Penolakan itu menyebabkan kegemparan di kalangan pakar hukum. Apa yang akan engkau lakukan kepada orang yang menolak untuk diampuni? Kasus itu akhirnya dibawa ke Mahkama Agung, dan keputusan telah dibuat. Jika pengampunan diberikan, tetapi pengampunan itu tidak diterima, maka pengampunan tidak dapat dipaksakan kepada siapapun. Dan orang yang menolak untuk diampuni itu melangkah kepada kematiannya.

Umat manusia berada di bawah ancaman hukuman mati. Kita dipenjara di planet ini, menunggu eksekusi. Tetapi Yesus telah mengusahakan kasus kita.

Dia turun dan mati menggantikan tempat kita, menanggung hukuman kita, menjadi pengganti kita. Dia menawarkan pengampunan. Tetapi kita menolak untuk menerimanya.

Pengampunan adalah transaksi dua arah. Agar pengampunan terjadi, harus ditawarkan dan diterima.

Pernahkah engkau mengalami hal itu dalam tingkatan hubungan antar manusia? Pernahkah seseorang yang bersalah kepadamu, dan engkau telah datang kepada-nya menawarkan pengampunan hanya untuk mendapatkan kekecewaan? Pernahkah engkau menemukan bagi dirimu sendiri bahwa pengampunan harus dua arah? Engkau bisa saja begitu pengampun. Engkau bisa saja dengan semangat yang tulus menginginkan agar hubungan itu dipulihkan. Tetapi jika pihak lain itu tidak menerima pengampunan yang engkau berikan, pengampunan tidak akan terjadi.

Dalam Lukas 17:3 Yesus berkata kepada murid-murid-Nya bagaimana mereka harus membalas orang yang berdosa terhadap mereka. “Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah ia.” Alkitab tidak mengatakan, “Jikalau saudaramu berbuat dosa, ampunilah dia.”

Dalam ayat 4, Yesus menarik garis bahkan lebih dekat lagi, “Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal. Engkau harus mengampuni dia.” Kembali orang yang bersalah harus bertobat untuk diampuni.

TUHAN memiliki semacam penghormatan yang tinggi terhadap kuasa memilih kita sehingga Ia tidak akan memaksakan bahkan pengampunan-Nya kepada kita. Dia menawarkannya dengan cuma-cuma. Dia mendorong kita untuk menerimanya. Tetapi pilihan akhir adalah milik kita. Kita dapat menolaknya jika kita memilih demikian.

Saat Yesus dipakukan pada salib, Dia mengucapkan sebuah doa bagi orang-orang yang menyalibkan Dia. Kata-kataNya diulang-ulang sepanjang masa, hingga sampai hari ini, “Bapa, ampunilah mereka; karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”

Pengampunan-Nya tidak terbatas, luas bahkan hingga kepada orang-orang yang membunuh Dia. Dia berdoa bagi mereka secara khusus. Tetapi apakah doa-Nya dijawab? Apakah mungkin bagi doa-Nya untuk dijawab? Apa yang memutuskan apakah doa-Nya akan dijawab?

The Desire of Ages, hlm. 745, mengatakan kepada kita, “Beberapa orang oleh karena ketidakmenyesalan mereka akan membuat sebuah kemustahilan bagi doa Kristus dijawab untuk mereka.”

TUHAN membuat ketentuan untuk pengampunan—berkelimpahan dan ditawarkan cuma-cuma. Yesus menyediakan suasana bagi pengampunan. Dan beberapa orang menerima, dan beberapa yang lain menolak. Bagi orang-orang yang menolak, pengampunan-Nya tidak bermanfaat. Pengampunan hanya bermanfaat bagi orang yang mau menerimanya.

Pengampunan tersedia. Pengorbanan Kristus di salib cukup untuk memasukkan setiap jiwa yang pernah lahir ke dunia ini dalam keselamatan-Nya. Satu-satunya yang dapat menghalangi engkau untuk diampuni adalah engkau. Itu adalah pilihanmu. Pengampunan menjadi milikmu jika engkau menerimanya.


Minggu, 10 Januari 2016

31. Satu-satunya dosa yang tidak dapat diampuni adalah dosa yang tidak kita sesali dan tidak kita mintakan pengampunan.


31. Satu-satunya dosa yang tidak dapat diampuni adalah dosa yang tidak kita sesali dan tidak kita mintakan pengampunan.

Satu hari setelah kebaktian gereja, seorang anak perempuan kecil dengan wajah berbintik-bintik, berusia sekitar sembilan atau sepuluh tahun, menarik ujung jas saya dan meminta untuk bicara dengan saya. Kami pergi ke sudut yang tenang di gereja, dan dengan air mata bercucuran dan bibir gemetar, dia berusaha untuk berkata, “Saya pikir saya telah melakukan dosa yang tidak dapat untuk diampuni.”

Banyak orang lain yang memiliki kekhawatiran yang sama. Ada sesuatu yang menakutkan tentang perkataan “dosa yang tidak dapat diampuni.” Hal itu dapat menuntun kita kepada gambaran Allah yang pemarah, menggelengkan kepala-Nya dan berkata, “Kali ini kamu sudah keterlaluan.” Dan orang-orang Kristen yang bergumul mulai dari usia sembilan sampai sembilan puluh sembilan tahun khawatir telah melewati batas kasih dan kemurahan Allah.

Wanita yang berbuat zinah itu merasa yakin dia telah berbuat terlalu jauh. Dengan kepala tertunduk dan mata menatap ke bawah, dia menanti batu-batu terbang ke arahnya. Dia merasa takjub ketika mengetahui bahwa pintu pengampunan masih terbuka untuknya. Dia tidak dihukum. TUHAN masih menawarkan pengampunan dan kuasa.

Marilah kita membaca tentang dosa yang tidak dapat diampuni dalam Matius 12:31. Yesus berkata, “Segala dosa dan hujat manusia akan diampuni, tetapi hujat terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni.”

Bagian pertama dari ayat itu sangat menguatkan hati. Semua perbuatan dosa akan diampuni. Tetapi apa arti-nya berdosa terhadap Roh Kudus? Hanya ini: karena adalah pekerjaan Roh Kudus untuk menyatakan dosa (baca Yohanes 16:8,9) dan karena semua perbuatan dosa dapat diampuni, maka dosa melawan Roh Kudus adalah menolak pernyataan-Nya dan menolak datang untuk bertobat.

Pengampunan adalah bersyarat. Jika tidak, maka semua orang di dunia ini akan diselamatkan. Apakah syarat untuk pengampunan? Pertama, kita mengakui dosa-dosa kita.

Kita diberitahu bahwa “jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” 1 Yohanes 1:9. Oleh karena itu dosa yang tidak dapat diampuni adalah dosa yang kita tolak untuk diakui dan diampuni.

Beberapa orang pada saat ini telah memutuskan bahwa pengakuan tidak penting. Mereka mengatakan bahwa Allah adalah Bapa yang pengasih dan bapa yang tidak akan mendesak anak-anaknya untuk mengakui perbuatan-perbuatan salah mereka. Mereka berkata seorang bapa mengampuni anak-anaknya karena dia mengasihi mereka. Tetapi tidak demikian yang dikatakan Alkitab. Alkitab menyatakan bahwa pengakuan adalah penting. Untuk diampuni, kita harus meminta pengampunan dan menerimanya.

Bagaimana kita menerima pengampunan Allah? Steps to Christ, hlm. 51 berkata, “Jika engkau percaya pada janji—percayalah bahwa engkau telah diampuni dan disucikan,--Allah memenuhi kenyataan itu; engkau telah dipulihkan, seperti Kristus memberikan kekuatan kepada orang lumpuh untuk berjalan ketika orang itu percaya bahwa ia telah disembuhkan. Itulah yang akan terjadi bila engkau mempercayainya.”

Kadang kala kita mendapat pemikiran bahwa syarat untuk mendapat pengampunan adalah bahwa kita tidak pernah berbuat dosa lagi. Kita berjanji kepada Allah, “Jika Engkau mengampuni kesalahanku ini sekali lagi—.” Dan kemudian kita melakukan dosa yang sama lagi dan takut untuk datang kepada-Nya untuk memperoleh pengampunan. Inilah yang sering menyebabkan orang-orang takut bahwa mereka telah melakukan dosa yang tidak dapat diampuni.

Tetapi janji Alkitab adalah, “Barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang.” Yohanes 6:37. Tidak ada tanggal kadaluarsa seperti pada kemasan makanan. Tidak ada pesan yang mengatakan, “Tidak baik digunakan setelah tanggal sekian-sekian.” Orang yang datang kepada Kristus selalu diterima.


Tidak masalah siapa engkau atau apa yang telah engkau lakukan. Jika engkau datang kepada Kristus hari ini, meminta pengampunan-Nya, menerima karunia pertobatan dan pengampunan-Nya, engkau akan diampuni. “Yesus suka menerima kita datang kepada-Nya sebagaimana kita ada, penuh dosa, tidak berdaya, bergantung. Kita boleh datang dengan kelemahan kita, kebodohan kita, keberdosaan kita, dan jatuh di kaki-Nya dalam penyesalan yang dalam. Kemuliaan-Nya akan mengelilingi kita di dalam tangan kasih-Nya dan untuk menyembuhkan luka-luka kita, untuk menyucikan kita dari segala ketidaksucian.”—Steps to Christ, hlm. 52.

Sabtu, 09 Januari 2016

30. Dukacita



30. Dukacita duniawi adalah berduka karena kita melanggar hukum dan tertangkap. Dukacita Ilahi adalah berduka karena kita telah menyakiti hati dan melukai Sahabat terbaik kita.

Pernahkah engkau mengemudi di atas 100km/jam? Pernahkah engkau dihentikan dan ditilang? Apakah engkau menyesal? Untuk apa engkau menyesal? Menyesal karena tertangkap? Atau menyesal karena mengemudi terlalu cepat?

Pernahkah engkau diperintahkan untuk, ”katakan kamu menyesal”? Semua kita pernah menyaksikan seorang anak yang telah melakukan suatu kesalahan dan tidak ada sedikitpun penyesalan padanya. Kemudian ayah atau ibunya datang dan berkata, ”Sekarang katakan bahwa kamu menyesal.”

Dan anak itu menundukkan kepalanya dan kakinya mengais-ngais lantai dan kelihatan sangat tidak senang. Akhirnya dia bergumam, ”Aku menyesal.” Dan orangtua itu menganggap masalah sudah selesai. Apakah anak itu menyesal? Dia menyesal karena dia harus berkata bahwa ia menyesal!

Alkitab membicarakan dua jenis ”penyesalan.” “Dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan yang tidak akan disesalkan, tetapi dukacita yang dari dunia ini menghasilkan kematian.” 2 Korintus 7:10. Jadi, ada dukacita Illahi dan ada dukacita duniawi.

Dukacita Illahi
Dukacita duniawi
Persoalan hubungan
Terbatas pada tingkah laku
Mengubah hidupmu
Hanya mengubah perbuatanmu dan bersifat sementara
Sangat perlu
Tidak bernilai

Yudas memiliki kesedihan yang berasal dari dunia. Dia menyesal karena tertangkap basah. Dia menanti hingga menit-menit terakhir untuk memastikan rencananya berhasil. Tetapi akhirnya ternyata Yesus tidak mau melepaskan diri-Nya dan para imam dan penguasa menghukum Dia, Yudas maju dengan penyesalannya. Dikatakan dalam Matius 27:3, ”menyesallah ia (Yudas)”.

Ini adalah ciri khas penyesalan duniawi yang menunggu hingga tertangkap tangan. Adalah satu hal ”menyesal” setelah engkau dibuktikan bersalah, tetapi sebaliknya adalah hal yang lain ”menyesal” bahkan sebelum engkau dituduh bersalah.

Contoh lain dalam Alkitab tentang jenis penyesalan yang salah adalah Kain. Dia, juga, menunggu hingga menit-menit terakhir dan bahkan kemudian berdebat dengan TUHAN. ”Saudaraku? Siapa? Oh, Habel? Apakah aku harus selalu menjaga adikku?”

Penyesalan yang berasal dari TUHAN, di sisi lain, pada dasarnya sangat berbeda. Kita bersedih karena kita melukai seseorang yang kita kasihi. Desire Of Ages, hlm. 300, menyatakan demikian: ”Kita sering bersedih karena perbuatan jahat kita membawa akibat-akibat yang tidak menyenangkan kepada diri kita; tetapi ini bukanlah penyesalan. Kesedihan yang benar karena dosa merupakan hasil pekerjaan Roh Kudus. Roh Kudus menyatakan hati yang tidak bersyukur telah menghina dan mendukakan Juruselamat, dan membawa kita di dalam kesedihan yang mendalam ke kaki salib. Setiap dosa yang kita lakukan, kembali melukai Yesus; dan saat kita memandang Dia yang telah kita pakukan, kita berduka karena dosa-dosa yang telah membawa penderitaan ke atas-Nya. Kesedihan seperti inilah yang akan menuntun kepada penolakan terhadap dosa.”

Hal ini memberikan kita alasan tegas lain mengapa penyesalan haruslah muncul sebagai hasil dari datang kepada Kristus. Kita tidak bisa bersedih karena telah melukai seseorang yang kita kasihi jika kita tidak mengasihi orang itu! Ingat ketika engkau masih kecil, dan engkau telah melakukan sesuatu yang membuat seorang anak tetangga yang nakal menjadi terluka? Apakah engkau menyesal?

Saat kita bertambah dewasa, kita belajar (saya berharap demikian) sedikit demi sedikit tentang semua hal yang meliputi kasih terhadap sesama manusia, sehingga kebaikan kita meluas melewati lingkaran teman-teman dekat kita. Namun kenyataannya tetap saja, semakin engkau mencintai seseorang maka semakin sedihlah hatimu ketika engkau melukainya.

Saat kita belajar mengenal Yesus dan mempercayai kasih yang Dia miliki untuk kita, kita akan menemukan bahwa kita sungguh-sungguh menyesal ketika kita membuat-Nya bersedih. Ini adalah penyesalan yang berasal dari Allah, ”yang tidak akan disesalkan.”

Jumat, 08 Januari 2016

29. TUHAN memberi kita pertobatan sebelum Dia memberi pengampunan.


29. TUHAN memberi kita pertobatan sebelum Dia memberi pengampunan.

Mari kita pikirkan sejenak dimana letak pertobatan yang cocok dalam urutan dari datang kepada Kristus. Kita diberitahu pada awalnya bahwa langkah pertama kepada Kristus adalah hasrat untuk sesuatu yang lebih baik. Kedua, kita memperoleh sebuah pengetahuan tentang apakah yang lebih baik itu. Ketiga, kita diyakinkan akan kondisi kita yang berdosa, dan keempat, kita menyadari bahwa kita tidak mampu menyelamatkan diri kita sendiri. Itulah saat dimana kita menyerah, atau berserah, dan datang kepada Kristus.

TUHAN tidak mengharapkan kita bertobat sebelum kita datang kepada Kristus; namun, adalah hal yang mustahil bagi kita melakukan itu. Pertama kita datang kepada Kristus, dan kemudian Dia memberikan kita pertobatan.

“Diajarkan oleh orang Yahudi bahwa sebelum kasih TUHAN diberikan kepada orang berdosa, dia harus bertobat lebih dahulu. Dalam pandangan mereka, pertobatan adalah pekerjaan yang mana dengan itu manusia mendapatkan pengampunan Surga. Dan pemikiran itulah yang membuat orang Farisi menyatakan dalam keheranan dan amarah, ‘Orang ini menerima orang berdosa.’ Menurut pendapat mereka Dia seharusnya tidak mengizinkan seorangpun mendekati Dia kecuali orang yang telah bertobat. Tetapi dalam perumpamaan domba yang hilang, Kristus mengajarkan bahwa keselamatan tidak datang melalui pencarian kita akan TUHAN tetapi melalui pencarian TUHAN akan manusia. ‘Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak.’ Roma 3:11,12. Kita tidak bertobat agar TUHAN boleh mengasihi kita, tetapi Dia menyatakan kepada kita kasih-Nya agar kita boleh bertobat.”—Christ’s Object Lessons, hlm. 189.

Maka setelah kita datang kepada Kristus, kita menjadi menyadari tabiat yang mematikan dari dosa dengan memandang kasih-Nya untuk kita, dan sekaligus mau menerima karunia pertobatan-Nya.

Pertobatan bukanlah sesuatu yang kita kerjakan, walaupun itu adalah sesuatu yang kita lakukan! Pertobatan bukanlah pekerjaan kita; itu adalah pekerjaan TUHAN untuk kita. Tetapi itu datang sebelum pengampunan. Dan jika pertobatan diikuti pengampunan, maka pertobatan juga diikuti pembenaran. “Orang yang diampuni Kristus, terlebih dahulu dibuat-Nya sangat menyesal.”—Thoughts From The Mount of Blessings, hlm. 7. Kisah 2:38 dengan jelas menyatakan bahwa pertobatan harus terjadi sebelum pengampunan. “Jawab Petrus kepada mereka, ‘Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu.’”

Kadangkala orang mempertanyakan nilai untuk menjadi begitu teliti dalam usaha memisahkan dan membuat daftar urutan setiap kejadian dalam datang kepada Kristus untuk memperoleh keselamatan. Tentu hal itu bukan dimaksudkan agar engkau dapat memiliki sebuah daftar dan kemudian menandai setiap langkah saat engkau melanjutkan dan mengetahui apa yang harus dilakukan berikutnya! Tetapi musuh Allah dan manusia memiliki persediaan yang mantap untuk membuat kesalahmengertian di sepanjang proses itu. Dan ini dapat menjadi penghalang antara kita dan Allah. Jika kita pikir bahwa kita mengusahakan kebenaran atau iman atau penyerahan atau pertobatan atau penurutan atau karunia lain apapun yang TUHAN tawarkan untuk diberi kepada kita secara cuma-cuma, kita dapat gagal datang kepada-Nya. Dan datang kepada-Nya adalah satu-satunya jalan untuk menerima karunia-karunia-Nya.

Banyak dari aspek-aspek terpisah dari datang kepada Kristus ini—pertobatan dan kelahiran baru dan pengampunan dan pembenaran—terjadi hampir secara bersamaan. Tujuan dari memisahkan hal-hal itu adalah untuk mendiskusikannya, sehingga kita dapat menentukan apa pekerjaan kita dan apa pekerjaan TUHAN, apa yang menjadi penyebab dan apa yang menjadi hasil.

Kebaikan TUHAN menuntun kita kepada pertobatan, menurut Roma 2:4. Kita tidak dapat mengusahakan pertobatan, tetapi kita dapat memilih untuk membaca firman-Nya atau mendengarkan khotbah dimana kebaikan TUHAN ditinggikan. Kita tidak dapat mengusahakan pertobatan, tetapi kita dapat datang kepada-Nya. Kita tidak dapat menghasilkan penyesalan sejati terhadap dosa; kita tidak dapat menjauhi dosa dengan kekuatan kita sendiri. Tetapi kita dapat mencari TUHAN untuk melakukan hal-hal ini bagi kita. TUHAN senang menolong orang yang tidak dapat menolong dirinya sendiri.