2. Kebenaran =
Yesus. Kita tidak memiliki kebenaran bila terpisah dari-Nya.
Dosen mata kuliah pokok saya di perguruan tinggi membuka kelas diskusi selama semester satu dengan menanyakan kami apa arti kebenaran.
Kami memberikan banyak definisi. Kebenaran adalah perbuatan benar. Kebenaran adalah penurutan akan hukum TUHAN. Kebenaran adalah kesucian. Dan bahkan mungkin yang lebih baik, kebenaran adalah kasih. Bukan hanya anggota kelas yang memberikan definisi-defenisi ini, tetapi engkau dapat menemukan definisi seperti itu di dalam kata-kata orang bijak.
Namun setelah dosen itu membuat kami frustrasi memikirkan berbagai definisi yang memungkinkan, dia akhirnya memberikan kesimpulan yang terbaik, definisi yang paling lengkap untuk kebenaran adalah Yesus. Semua definisi yang lain tidak cukup.
Jika, misalkan, kebenaran diartikan melakukan perbuatan benar, maka satu-satunya hal yang engkau butuhkan untuk menjadi benar adalah—apa? Melakukan apa yang benar. Engkau tidak akan membutuhkan Juruselamat jika kebenaran didasarkan pada tingkah laku belaka.
Tetapi kebenaran bukanlah sesuatu yang ada dengan sendirinya. Itu bukanlah sesuatu yang dapat dihasilkan oleh manusia dalam cara apapun. Kita mengalami kebangkrutan akan kebenaran. Yesaya berkata, “Demikianlah kami sekalian seperti orang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor.” Yesaya 64:6. Kita bukan hanya tidak mampu menghasilkan kebenaran, tetapi kita juga tidak mampu menyimpan kebenaran. Itu bukanlah sesuatu yang dapat kita peroleh atau kita miliki bila terpisah dari Yesus. Oleh karena itu, kita dapat mengartikan bahwa kebenaran adalah Seorang Oknum. Maka selama kita memiliki Yesus, kita memiliki kebenaran, tetapi tanpa Dia, kita tidak memiliki pengharapan untuk kebenaran.
“Orang berdosa dapat menemukan pengharapan dan kebenaran hanya di dalam TUHAN, dan tidak ada manusia yang benar lebih lama dari pada selama dia memiliki iman di dalam TUHAN dan memelihara sebuah hubungan yang vital dengan-Nya.”—Testimonies to Ministers, hlm. 367.
Engkau bisa mencoba memasukkannya ke dalam sebuah persamaan. Jika Yesus = Kebenaran, dan Kebenaran = Yesus, maka satu-satunya jalan untuk memperoleh kebenaran hanya bersama Yesus, dan tetap di dalam Dia. Maka kita dapat berkata bahwa Manusia + Yesus = Kebenaran.
Pada suatu hari saya mendiskusikan hal ini dengan sekelompok mahasiswa ketika seorang pemuda di baris belakang menunjukkan perasaan aneh di wajahnya. Dia mengangkat tangannya dan berkata, “Tetapi jika Yesus sama dengan Kebenaran, dan Manusia tambah Yesus sama dengan Kebenaran, berarti Manusia sama dengan tidak ada!” Dan dia berbicara seakan-akan dia baru saja melakukan ketidakadilan yang sangat besar terhadap manusia.
Tetapi bukankah itu dilema dari seluruh umat manusia bahwa kita tidak memiliki kebenaran di dalam diri kita? Kita berharga di mata surga. Di kayu salib Yesus membuktikan harga jiwa manusia. Tetapi bila berbicara tentang menghasilkan kebenaran, kita sama sekali tidak berpengharapan. Kita tidak bisa menghasilkan kebenaran; kita tidak memiliki apa-apa.
Charles T. Everson menceritakan kisah seorang wanita yang pergi berbelanja kain untuk membuat sebuah baju baru. Dia menyentuh kain tersebut, meneliti tenunannya, mengagumi warna dan polanya, hingga akhirnya dia menemukan satu gulungan kain lain yang sepertinya dia inginkan. Sejenak dia ragu, ingin memastikan pilihannya, penjaga toko datang mendekat dan berkata, “Saya mengamati bagaimana anda melihat bahan ini, dan sebagian dari bahan ini telah dibuat menjadi baju yang dipajang di depan. Mungkin anda tidak memperhatikannya ketika masuk ke toko ini.”
Maka mereka pergi ke jendela pajangan di bagian depan toko untuk melihat baju tersebut, dan wanita tersebut berseru, “Indah sekali! Ini bahan yang benar-benar aku inginkan. Bahan ini cantik sekali—tetapi sekarang setelah aku melihatnya dalam bentuk baju, aku baru benar-benar yakin.” Dan dia membeli bahan tersebut.
Demikian juga dengan hukum TUHAN. Kita dapat mengagumi prinsip-prinsipnya; kita dapat menyetujui ajaran-ajarannya. Tetapi sebelum kita dapat benar-benar menghormati dan menerimanya, kita harus melihat hukum itu dibuat dalam bentuk kehidupan—kehidupan Yesus. Ketika kita memandang Dia, kita juga menerima kebenaran-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar